Masjid PITI Muhammad Cheng Ho: Simbol Toleransi dan Kebhinekaan di Kabupaten Purbalingga
Di antara ribuan masjid yang tersebar di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, terdapat sebuah masjid yang unik dan mencuri perhatian, yakni Masjid PITI Muhammad Cheng Ho. Lokasinya berada di tepi jalan utama Bobotsari-Purbalingga, tepatnya di Desa Selaganggeng, Kecamatan Mrebet. Arsitekturnya menciptakan daya tarik tersendiri, mirip dengan tempat ibadah umat Tri Dharma (Budha, Konghuchu, dan Taoisme), sehingga orang awam mungkin akan menganggapnya sebagai klenteng.
Bangunan masjid ini memiliki bentuk fisik segi delapan, dengan atap bertingkat menyerupai pagoda. Tidak hanya itu, gerbang depannya juga mirip dengan gerbang istana Kaisar China. Menariknya, masjid ini memiliki sejarah dan cerita dibalik pembangunannya yang menunjukkan semangat toleransi dan kebinekaan.
Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 2005. Proyek ini diinisiasi oleh seorang mualaf Tionghoa asal Bobotsari, almarhum Hery Susetyo atau yang akrab dipanggil Hery Wako. Awalnya, lokasi tersebut hanyalah lahan kosong, seperti rawa, namun berkat inisiatif Hery Wako, lahan tersebut diolah dan diusulkan untuk dibangun sebuah masjid.
Menariknya, Hery Wako memiliki visi agar masjid ini dibangun dengan arsitektur yang mengadopsi gaya rumah Tionghoa. Alasannya sederhana namun bermakna, yaitu menjadikan masjid ini sebagai simbol toleransi antaragama dan antaretnis di wilayah tersebut. Warga setempat memberikan dukungan penuh terhadap ide ini, mengakui bahwa masjid ini akan menjadi representasi nilai-nilai toleransi yang penting.
Meskipun pembangunan sempat terhenti karena kendala dana, berkat bantuan donatur, proyek ini berhasil dilanjutkan. Akhirnya, pada tahun 2011, Masjid PITI Muhammad Cheng Ho resmi diresmikan dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat.
Pemilihan nama masjid juga menarik. Kata “PITI” merupakan singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, mencerminkan identitas multi-etnis yang dihargai dalam masjid ini. Sementara “Muhammad Cheng Ho” diambil untuk mengenang perjuangan penyebaran Islam oleh tokoh pelayaran asal Tionghoa, Laksamana Cheng Ho. Nama tersebut menjadi pilihan yang tepat untuk menciptakan keseimbangan antara identitas budaya Tionghoa dan nilai-nilai Islam yang diusung.
Seperti masjid pada umumnya, Masjid PITI Muhammad Cheng Ho juga menjadi tempat ibadah selama bulan Ramadan. Warga sekitar berkumpul di sini untuk melaksanakan salat lima waktu, salat tarawih, pengajian, dan kegiatan keagamaan lainnya. Keberagaman aktivitas keagamaan ini mencerminkan semangat inklusivitas yang ditanamkan dalam konsep masjid ini.

Tak hanya menjadi tempat ibadah, Masjid PITI Muhammad Cheng Ho juga menjadi daya tarik bagi pengguna kendaraan yang melintas. Terlebih lagi, di sebelah masjid terdapat rest area yang pastinya ramai dikunjungi, terutama saat arus mudik dan balik lebaran. Hal ini menunjukkan bahwa masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai titik pertemuan dan istirahat bagi masyarakat yang bepergian.
Masjid ini, dengan segala keunikan arsitektur dan konsep toleransinya, bukan hanya menjadi bangunan sakral bagi umat Islam Tionghoa di Kabupaten Purbalingga, tetapi juga menjadi simbol keharmonisan dan persatuan antaragama dan antaretnis di Indonesia. Dalam zaman yang penuh dengan perbedaan, Masjid PITI Muhammad Cheng Ho menjadi bukti bahwa toleransi dan kebinekaan bukanlah impian yang tidak tercapai, melainkan sebuah realitas yang dapat diwujudkan melalui langkah-langkah konkret seperti pembangunan masjid ini.
